Bersenandung penuh irama.
Bibir mengucap tak bermakna.
Tertunduk.
Terisak.
Mata panas menahan tangis.
Tidak ada perintah dari siapa-siapa.
Apa?
Memang tidak boleh?
Kenapa?
Aku hanya ingin orang-orang melihatku bahagia.
Bukankah aku sangat munafiq tuhan?!
Sejuta kata tak bermanfaat.
Lebih baik ditelan bulat-bulat.
Daripada jarum menghujam amat lamat.
Ah! Sesak sangat!
Biarkan aku memakai topengku.
Selamanya.
Berbisik lirih dalam hati.
Menggeram sakit tak tertahan.
Tuhan, aku ingin berbicara dengan ayah.
Bolehkah tuhan?
Berpura-pura kuat selama 3 tahun lewat.
Mengenyam pahit rasa rindu.
Oh tuhan,
Pertemukan aku dengannya lewat mimpi.
Jika pun aku pulang ke negeri,
Yang ada hanya sepi yang ku jumpai.
Wujud sepi.
Di atas pusara ku menyepi.
Selasa, 12 Maret 2019
Senin, 18 Februari 2019
Urgensi Linieritas
Tajuk Utama Majalah Manggala Edisi 7
Oleh: Cici Purwati
Pada kenyataannya, setiap manusia punya kecendrungan masing-masing pada suatu bidang tertentu, namun kerap kali ia dibenturkan oleh kenyataan dan kecemasan akan sebuah persentase kesuksesan tersebut. Untuk sebuah pencapaian yang kongkret, seperti materi dan pertimbangan tingkat kesulitannya, ia malah memilih suatu bidang yang sejalan dengan kecendrungannya dan meninggalkan sebuah tuntutan, atau sebaliknya ia memilih suatu bidang karena keterpaksaan dan suatu tuntutan dalam hidupnya.
Jika kita lihat di media sosial, banyak sekali orang-orang yang disebut ustadz bahkan ulama. Padahal ia belum menguasai penuh segala ilmu syari’at, Ushul ad-Diin, Maqâsid Syari’ah, Ilmu Ma’ani, serta bahasa yang baik secara gramatikal maupun ‘urf. Untuk menjadi ulama besar butuh waktu pendalaman dan jangka waktu yang cukup lama, tidak bisa asal bicara di depan dengan gaya ulama besar tanpa tahu dalil yang qath’iy. Bukanlah suatu aib jika memang tidak mengetahui suatu ilmu lalu kita menjawab “saya tidak tahu”, karena itu lebih baik dari pada menjawab tanpa dalil dan alih-alih menyesatkan orang yang bertanya dan bahkan rentan memecah umat dengan fatwa yang salah. Bagaimana mungkin seorang ulama yang fokus di bidang tashawuf menjawab persoalan ekonomi syari’ah? Atau bagaimana mungkin seorang dokter spesialis bedah jantung memeriksa orang yang sakit gigi?
Beberda dengan kisah Syaikh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani, seorang ulama yang latar belakang pendidikannya adalah kedokteran Bedah Umum. Ia meraih gelar Doktor dalam bidang Bedah Umum pada tahun 1991 dan menjadi anggota Persatuan Dokter Bedah Internasional pada tahun 1992. Beliau mulai memperdalam ilmu agama setelah menyelesaikan pendidikan formal hingga menjadi dokter ahli, beliau memutuskan untuk semakin mendalami agama Islam dan kembali menjadi mahasisw di Universitas al-Azhar, Fakultas Syari’ah wa al-Qanaun, jurusan Syari’ah Islamiyah pada tahun 1992, dan mendapatkan gelar License (strata sary) pada tahun 1997 dengan predikat Baik sekali. Ulama yang nasabnya berakhir di Sayyidina Hasan bin Ali ra., cucu Rasuullah Saw. Beliau berakidah Sunni Asy`ari, dan dalam fikih beliau bermadzhab Syafi’i. Tidak heran jika kemudian beliau menjadi ulama besar, karena tentunya sedari dini beliau sudah dididik tentang agama Islam secara kâfa. Di samping menjadi dokter, beliau sangat mulâzamah dalam mengikuti berbagai macam kajian dan talaqqi kepada ulama-ulama besar al-Azhar. Jadi, keilmuan beliau sudah tidak diragukan walaupun hanya gelar License yang ia dapat dari Fakultas Syari’ah wa al-Qanun.
Dari data 20 orang, sebagian mereka adalah Azhari dan sebagian lagi bukan Azhari (mahasiswa/i Indonesia). Ketika ditanya, haruskah ada sebuah linieritas? 40 persen menjawab tidak, dan 60 persen menjawab harus. Untuk yang menjawab tidak, salah satu dari alasan mereka adalah; untuk berkarir, seseorang tidak harus terpaku pada satu bidang saja, mereka juga butuh mencari bidang ilmu lain yang memperkuat karirnya. Jika seseorang telah meneladani satu bidang, otomatis jalan lain akan terbuka untuknya.
Beranjak dari situ, al-Azhar punya peraturan sendiri bagi siapa-siapa yang ingin masuk strata 1 di Universitas al-Azhar, Kairo, salah satunya; harus bisa berbahasa arab. Al-Azhar sendiri tidak mempermasalahkan apakah ia dari SMA, MA, SMK ataupun pondok salafi yang ijazahnya tidak melewati prosedur negara. Yang terpenting di sini adalah; ia memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik dalam gramatikal tulisan maupun lisan, memiliki hafalan al-Qur`an minimal 2 juz dan syarat mutlak adalah, ia siap untuk mengikuti manhaj al-Azhar, sehingga dengan kata lain; asalkan ia tidak mengkhianati al-Azhar, tidak mengikuti aliran-aliran yang bertentangan dengan manhaj al-Azhar, para masyâyikh akan menerimanya untuk belajar di kiblat ilmu agama, Mesir. Sedangkan untuk siapa-siapa yang ingin melanjutkan strata 2 atau magister khususnya di Universias al-Azhar setelah kuliah di Indonesia memang agak sulit, tidak semudah mahasiswa/i yang sudah menempuh starata 1 di Universitas al-Azhar, karena jurusan mereka harus liniear dan banyak prosedur yang harus diikuti.
Sedangkan yang menjawab ‘harus linear’, kebanyakan mereka adalah orang yang kuliah di Indonesia. Sebenarnya, yang banyak menanyakan tentang linieritas adalah guru, ini diakibatkan oleh banyaknya mahasiswa magister yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun ada peraturan yang membatasinya. Aturan itu bisa tentang linieritas studi dengan profesi, izin belajar, tugas belajar dan jarak antara pekerjaan dan segala kebijakan lainnya yang bersangkutan dengan perguruan tinggi tersebut.
Zaki Mubarak, salah satu mahasiswa UGM, ia berkata, bahwasannya sejak ia studi di CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM dalam sebuah shorcourse, ia bertanya apakah penting linieritas studi dilakukan oleh pemerintah. Beberapa tutor yang ia temui hampir semuanya sama-sama menjelaskan bahwa linieritas studi itu membatasi ruang gerak pemikiran seseorang. Ilmu bersifat integratif-holistik, tidak parsial (bagian dari keseluruhan), sehingga dalam studi tidak harus dilinierkan.
Linieritas studi adalah lurusnya, samanya atau sejenisnya dalam studi disiplin ilmu seseorang di perguruan tinggi, baik itu sarjana, magister atau doktor. Kata kunci dari linieritas itu adalah bidang disiplin ilmu. Tujuan dari melinieritaskan adalah untuk mengatur keilmuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia agar lebih tertata, tidak zig-zag, tidak seorang individu berilmu A, B, C, sehingga ada kejelasan kepakaran dibidang apa yang ia geluti.
Menurut Zaky Mubarak, analogi dari linieritas ini adalah kebijakan yang mengarahkan untuk membuat sumur bukan membuat kolam. Sumur itu lobangnya kecil, tetapi meiliki kedalaman yang lebih dibandingkan dengan kolam. Kolam luasnya lebih besar dari sumur, tapi kedalamannya lebih pangkal dari sumur. “Pakar” adalah ahli atau orang yang mengerti tentang sebuah ilmu dan menguasainya. Pakar akan faham seluk beluk tentang keilmuannya, namun ia tidak tahu tentang yang lain atau sedikit sekali mengetahuinya. Ia sangat fokus terhadap keilmuan yang dikuasainya dan berbagi keilmuan dengan orang lain yang tidak dikuasainya. Kebalikan dari pakar, sebut saja “Pasar”. Pasar terdiri dari banyak hal, mulai dari tomat, wortel, bawang dan lainnya, seorang yang menguasai “pasar” ia akan memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai macam disiplin ilmu, namun terbatas pada pengetahuan umumnya saja. Ia banyak tahu tapi tak tahu banyak.
Jika ingin menjadi pakar, maka seseorang harus mengambil prodi yang linier, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Dengan S2 linier, seseorang bisa fokus pada 1 bidang dan mengexplore lebih jauh mengenai ilmu yang ditempuhnya selama kuliah S1. Dan ketika ada satu pihak yang membutuhkan tenaga di bidang tersebut, ia tidak akan sulit untuk masuk pada dunia tersebut. sedangkan Non linier, pilihan ini bisa menjadi pilihan ketika melihat faktor kebutuhan kerja. Jika saat ini seseorang bekerja pada bidang yang bukan basicnya pada studi S1, ia bisa mengambil posisi ini. Tentu dari keduanya pasti akan ada untung dan ruginya.
Oleh: Cici Purwati
Pada kenyataannya, setiap manusia punya kecendrungan masing-masing pada suatu bidang tertentu, namun kerap kali ia dibenturkan oleh kenyataan dan kecemasan akan sebuah persentase kesuksesan tersebut. Untuk sebuah pencapaian yang kongkret, seperti materi dan pertimbangan tingkat kesulitannya, ia malah memilih suatu bidang yang sejalan dengan kecendrungannya dan meninggalkan sebuah tuntutan, atau sebaliknya ia memilih suatu bidang karena keterpaksaan dan suatu tuntutan dalam hidupnya.
Jika kita lihat di media sosial, banyak sekali orang-orang yang disebut ustadz bahkan ulama. Padahal ia belum menguasai penuh segala ilmu syari’at, Ushul ad-Diin, Maqâsid Syari’ah, Ilmu Ma’ani, serta bahasa yang baik secara gramatikal maupun ‘urf. Untuk menjadi ulama besar butuh waktu pendalaman dan jangka waktu yang cukup lama, tidak bisa asal bicara di depan dengan gaya ulama besar tanpa tahu dalil yang qath’iy. Bukanlah suatu aib jika memang tidak mengetahui suatu ilmu lalu kita menjawab “saya tidak tahu”, karena itu lebih baik dari pada menjawab tanpa dalil dan alih-alih menyesatkan orang yang bertanya dan bahkan rentan memecah umat dengan fatwa yang salah. Bagaimana mungkin seorang ulama yang fokus di bidang tashawuf menjawab persoalan ekonomi syari’ah? Atau bagaimana mungkin seorang dokter spesialis bedah jantung memeriksa orang yang sakit gigi?
Beberda dengan kisah Syaikh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani, seorang ulama yang latar belakang pendidikannya adalah kedokteran Bedah Umum. Ia meraih gelar Doktor dalam bidang Bedah Umum pada tahun 1991 dan menjadi anggota Persatuan Dokter Bedah Internasional pada tahun 1992. Beliau mulai memperdalam ilmu agama setelah menyelesaikan pendidikan formal hingga menjadi dokter ahli, beliau memutuskan untuk semakin mendalami agama Islam dan kembali menjadi mahasisw di Universitas al-Azhar, Fakultas Syari’ah wa al-Qanaun, jurusan Syari’ah Islamiyah pada tahun 1992, dan mendapatkan gelar License (strata sary) pada tahun 1997 dengan predikat Baik sekali. Ulama yang nasabnya berakhir di Sayyidina Hasan bin Ali ra., cucu Rasuullah Saw. Beliau berakidah Sunni Asy`ari, dan dalam fikih beliau bermadzhab Syafi’i. Tidak heran jika kemudian beliau menjadi ulama besar, karena tentunya sedari dini beliau sudah dididik tentang agama Islam secara kâfa. Di samping menjadi dokter, beliau sangat mulâzamah dalam mengikuti berbagai macam kajian dan talaqqi kepada ulama-ulama besar al-Azhar. Jadi, keilmuan beliau sudah tidak diragukan walaupun hanya gelar License yang ia dapat dari Fakultas Syari’ah wa al-Qanun.
Dari data 20 orang, sebagian mereka adalah Azhari dan sebagian lagi bukan Azhari (mahasiswa/i Indonesia). Ketika ditanya, haruskah ada sebuah linieritas? 40 persen menjawab tidak, dan 60 persen menjawab harus. Untuk yang menjawab tidak, salah satu dari alasan mereka adalah; untuk berkarir, seseorang tidak harus terpaku pada satu bidang saja, mereka juga butuh mencari bidang ilmu lain yang memperkuat karirnya. Jika seseorang telah meneladani satu bidang, otomatis jalan lain akan terbuka untuknya.
Beranjak dari situ, al-Azhar punya peraturan sendiri bagi siapa-siapa yang ingin masuk strata 1 di Universitas al-Azhar, Kairo, salah satunya; harus bisa berbahasa arab. Al-Azhar sendiri tidak mempermasalahkan apakah ia dari SMA, MA, SMK ataupun pondok salafi yang ijazahnya tidak melewati prosedur negara. Yang terpenting di sini adalah; ia memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik dalam gramatikal tulisan maupun lisan, memiliki hafalan al-Qur`an minimal 2 juz dan syarat mutlak adalah, ia siap untuk mengikuti manhaj al-Azhar, sehingga dengan kata lain; asalkan ia tidak mengkhianati al-Azhar, tidak mengikuti aliran-aliran yang bertentangan dengan manhaj al-Azhar, para masyâyikh akan menerimanya untuk belajar di kiblat ilmu agama, Mesir. Sedangkan untuk siapa-siapa yang ingin melanjutkan strata 2 atau magister khususnya di Universias al-Azhar setelah kuliah di Indonesia memang agak sulit, tidak semudah mahasiswa/i yang sudah menempuh starata 1 di Universitas al-Azhar, karena jurusan mereka harus liniear dan banyak prosedur yang harus diikuti.
Sedangkan yang menjawab ‘harus linear’, kebanyakan mereka adalah orang yang kuliah di Indonesia. Sebenarnya, yang banyak menanyakan tentang linieritas adalah guru, ini diakibatkan oleh banyaknya mahasiswa magister yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun ada peraturan yang membatasinya. Aturan itu bisa tentang linieritas studi dengan profesi, izin belajar, tugas belajar dan jarak antara pekerjaan dan segala kebijakan lainnya yang bersangkutan dengan perguruan tinggi tersebut.
Zaki Mubarak, salah satu mahasiswa UGM, ia berkata, bahwasannya sejak ia studi di CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM dalam sebuah shorcourse, ia bertanya apakah penting linieritas studi dilakukan oleh pemerintah. Beberapa tutor yang ia temui hampir semuanya sama-sama menjelaskan bahwa linieritas studi itu membatasi ruang gerak pemikiran seseorang. Ilmu bersifat integratif-holistik, tidak parsial (bagian dari keseluruhan), sehingga dalam studi tidak harus dilinierkan.
Linieritas studi adalah lurusnya, samanya atau sejenisnya dalam studi disiplin ilmu seseorang di perguruan tinggi, baik itu sarjana, magister atau doktor. Kata kunci dari linieritas itu adalah bidang disiplin ilmu. Tujuan dari melinieritaskan adalah untuk mengatur keilmuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia agar lebih tertata, tidak zig-zag, tidak seorang individu berilmu A, B, C, sehingga ada kejelasan kepakaran dibidang apa yang ia geluti.
Menurut Zaky Mubarak, analogi dari linieritas ini adalah kebijakan yang mengarahkan untuk membuat sumur bukan membuat kolam. Sumur itu lobangnya kecil, tetapi meiliki kedalaman yang lebih dibandingkan dengan kolam. Kolam luasnya lebih besar dari sumur, tapi kedalamannya lebih pangkal dari sumur. “Pakar” adalah ahli atau orang yang mengerti tentang sebuah ilmu dan menguasainya. Pakar akan faham seluk beluk tentang keilmuannya, namun ia tidak tahu tentang yang lain atau sedikit sekali mengetahuinya. Ia sangat fokus terhadap keilmuan yang dikuasainya dan berbagi keilmuan dengan orang lain yang tidak dikuasainya. Kebalikan dari pakar, sebut saja “Pasar”. Pasar terdiri dari banyak hal, mulai dari tomat, wortel, bawang dan lainnya, seorang yang menguasai “pasar” ia akan memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai macam disiplin ilmu, namun terbatas pada pengetahuan umumnya saja. Ia banyak tahu tapi tak tahu banyak.
Jika ingin menjadi pakar, maka seseorang harus mengambil prodi yang linier, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Dengan S2 linier, seseorang bisa fokus pada 1 bidang dan mengexplore lebih jauh mengenai ilmu yang ditempuhnya selama kuliah S1. Dan ketika ada satu pihak yang membutuhkan tenaga di bidang tersebut, ia tidak akan sulit untuk masuk pada dunia tersebut. sedangkan Non linier, pilihan ini bisa menjadi pilihan ketika melihat faktor kebutuhan kerja. Jika saat ini seseorang bekerja pada bidang yang bukan basicnya pada studi S1, ia bisa mengambil posisi ini. Tentu dari keduanya pasti akan ada untung dan ruginya.
Kamis, 07 Februari 2019
Melihat Kegagalan dari Sudut Pandang Atdik Kairo, Cecep Taufikurrohman, S.Ag., MA
Oleh : Cici Purwati
Kata siapa orang sukses tidak pernah gagal? Kata siapa
orang gagal akan selamanya gagal? Ketika mendapat kegaglan, bukan berarti
hidupmu kedepannya akan selalu gagal. Bukankah setiap orang memiliki jatah
kegagalan masing-masing? Yang membedakan orang gagal dan orang sukses adalah
seberapa besar usahanya untuk terlepas dari kegagalan. Cecep Taufikurrohman, S.Ag.,
MA atau yang akrab dipanggil Buya CT adalah orang yang membuktikan bahwa
kegagalan bukan akhir dari kehidupan. Ia tak lantas menjadikan kegagalan
sebagai sebuah keterpurukan yang mendalam. Darinya kita bisa menghayati apa
arti kegagalan adalah sebuah batu loncatan untuk sukses, itulah alasan mengapa
buletin Manggala berinisiatif untuk mewawancarinya. Selain karya-karyanya yang
menginspirasi, kiprahnya dibidang organisasi maupun kejurnalistikan sudah tidak
diragukan lagi, begitu pun dengan pengabdiannya terhadap negara Indonesia.
Atdik RI asal Garut, Jawa Barat ini adalah seorang
aktivis yang memiliki moto hidup “al-hayaatu kulluhaa ibaadah” (hidup
itu seluruhnya ibadah). Sudah seharusnya untuk kita agar meniatkan segala
sesuatunya untuk ibadah agar semuanya bernilai ibadah, terutama untuk pekerjaan
yang baik. Setelah lulus dari pesantren Al-Furqon Cibiuk, ia melanjutkan
sekolahnya ke Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN-PK) Darussalam Ciamis,
Jawa Barat. Kemudian melanjutkn pendidikan S1 di IAIN (saat ini UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Lulus dari UIN, bapak beranak empat ini mengikuti
seleksi yang diselenggarakan Kemenag RI untuk melanjutkan studi program S2 di
Universitas Al-Azhar jurusan Falsafah Islam, Mesir yang merupakan cita-cita
impiannya semenjak kelas III MTs. Saat itulah dimulai kisahnya, untuk sampai
pada posisi saat ini perjalanan Buya CT tidak melulu lancar dan mulus. Setelah
lulus tes Kemenag RI, ia harus menunggu 1 tahun menuju keberangkatan, dan
sesampainya di Mesir pun ia tidak langsung merasakan kuliah di Al-Azhar
As-Syarief. Mantan ketua PCIM (Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah)
ini pernah terlantar selama satu tahun di Mesir, karena namanya belum terdaftar
di Universitas Al-Azhar As-Syarief. Tidak cukup disitu perjuangannya, ketika tahun
pertama program S2 Tamhidi, ternyata beliau mendapatkakn taqdir rosib
(gagal). Beranjak dari situ, ketika beliau ditanya bagaimana ia mengatasi rosib,
karena sebagian orang ada yang memandang rosib adalah suatu kegagalan yang
nyata dan membuat orang berfikiran suntuk tahwil (pindah jurusan) atau
malah ada yang menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk menjadi sukses.
Ia menjawab, bahwa saat itu ia tidak kehilangan semangat, tapi justru semakin
tertantang. Itu hanyalah paradigma orang-orang yang mengatakan bahwa S2 di
Al-Azhar sangat menakutkan, sangat susah, dan sangat lama sehingga mereka
berdalih dari Al-Azhar dan membuat mitos-mitos yang tidak masuk akal.
“Setelah rosib, yang saya lakukan bukan putus
asa, tapi kemudian saya mulai intropeksi diri. Pasti dalam diri saya ada yang
salah dan ada yang kurang, karena jika saya tidak kurang pasti Al-Azhar tidak
akan membuat saya rosib. Ketika saya rosib saya sadar, mungkin belajar saya
belum maksimal, doa saya belum maksimal, belajarnya belum sesuai yang
diinginkan Dosen, sehingga saya mencoba terus, dan terus, Alhamdulillah saya
lulus tamhidi 1. Sehingga ketika lulus dan masuk tamhidi 2, dengan cara yang
sama saya gunakan dan perjuangan yang sama dan lebih berat saya lulus Tamhidi 2
di daur awwal” ujarnya.
Betul adanya bahwa persespsi orang berbeda-beda dalam
menanggapi sebuah kegagalan, ada yang semakin semangat dan ada yang balas
dendam untuk menjadi jauh lebih baik. Bahkan ada pula yang semakin terpuruk
karena kegalagalan tersebut, menarik diri dari keramaian, atau minder.
Ketika ia ditanya, apa yang menjadi batu loncatan atau
titik balik anda selain taqdir rosib itu?
“Pertama adalah ketika saya menyadari betul
bahwa tujuan saya adalah untuk studi, untuk menuntut ilmu, jadi prinsip saya
hanya satu ; saya berhasil atau terus berhasil, apapun caranya yang harus
dilakukan. Dan adapun jika saya tidak berhasil, inilah yang memacu semangat.
Jika saya gagal berarti saya tidak berbeda dengan orang lain, saya telah
menghabiskan waktu, umur, materi, dan segala macam. Bertahun- tahun tinggal di
mesir tapi tidak membawa hasil apapun yang maksimal untuk kepentingan masa
depan. Sehingga ketika mengalami persoalan dan kendala maka sayaakan semakin semangat. Istilahnya seperti bola
atau ketapel yang ditarik kebelakang lebih jauh, semakin ditarik kebelakang,
semakin cepat ia melaju jauh” ujarnya.
Untuk tahu kisah selanjutnya serta kiat-kiat belajar di
Azhar, semua telah ia tuliskan di bukunya yang berjudul “Menuju Kiblat Ilmu”
buku yang berisi tentang panduan-panduan untuk para pelajar yang ingin
melanjutkan studi ke Mesir, sangatlah direkomendasikan untuk membaca buku
tersebut. Di dalamnya juga dituliskan tentang kelemahan mahasiswa Azhar,
faktor-faktor keberhasilan para Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir), faktor
kegagalan, dan ada penjelasan yang sangat rinci mulai dari pegurusan nama di
kuliah hingga kelulusan.
Namun perlu digaris besari, sebanyak apapun buku motivasi
atausebanyak apapun orang yang menasehati, seseorang tidak akan berhasol jika
ia tidak melakukan tindakan apapun. Menurut Buya Cecep, cara yang paling baik
untuk bangkit bagi Masisir, adalah :
1.
Rajin bertanya kepada diri sendiri, intropeksi
diri, tujuan kita kemesir untuk apa?
2.
Masa depan kita mau kita ciptakan seperti apa?
3.
Kita tidak boleh membiarkan hidup kita terbawa
arus, kita harus menciptakan masa depan kita sendiri atau menciptakan takdir
sendiri, karena takdir Allah tidak pernah ada yang tahu.
Adapun kiat-kiat untuk untuk menghadapi tantangan di
tanah air adalah sebagai berikut :
1.
Bahasa arab harus diatas rata-rata.
2.
Menguasai bidangnya dengan baik.
3.
Harus punya nilai plus yang membuat kita
berbeda dengan yang lainnya. Seperti bahasa Arab yang baik, penguasaan bidang
yang baik dan pengalaman internasional yang kita dapatkan selama kita belajar
di luar.
Dengan tiga bekal ini, para Masisir akan bisa survive,
bahkan bukan sekedar itu, ia pun bisa mewarnai hidup lingkungannya atau menjadi
tokoh di kampungnya. Ia Akan nampak, dan menjadi tokoh keilmuan karena
pengalaman-pengalamannya.
Tasawuf Adalah Tangga Untuk Sampai Kepada Keimanan
Oleh : Cici Purwati
“When you love you
should not say, God is in my heart”, but rather, “I am in the heart of God.”
—Khalil Gibran—
Menurut ensiklopedia bebas, Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara
menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk
memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan
zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering
dihubungkan dengan Syiah, Sunni,
cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi.
Adapun pengertian kalimat tasawuf, bukanlah kalimat yang diwarisi atau
dinukil, ia juga bukan sebuah ilmu pengetahuan yang pasti, karena jika kita
menelusuri pengertiannya dari sisi bahasa, maka kita akan dapati bahwa definisi
tasawuf itu berbeda-beda, begitu juga dengan tokoh sufi yang masyhur pada zaman
tersebut. Begitupun dengan sejarah munculnya ajaran tasawuf, sebagian agama
lain ada yang beranggapan bahwa tasawuf bukanlah ajaran islam, karena adanya
persamaan istilah-istilah tasawuf dengan ajaran agama mereka, hulul misalnya.
Hulul dalam istilah tasawuf islam adalah suatu kondisi ketika terwujudnya
hubungan yang seerat-eratnya antara manusia dan Allah Swt. dengan segala
ketenangan rohani ketika beribadah atau berdzikir, sedangkan hulul dalam ajaran
Budha dan Hindu adalah kepercayaan bahwa manusia akan berhenti lahir semula (Reinkarnasi)
pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila
mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan. Sebagaimana
kita ketahui bahwa ajaran Budha lebih dulu muncul dari pada islam, dan mereka
mengkalim bahwa tasawuf adalah sebuah ajaran dari ajaran mereka.
Pada faktanya, ajaran tasawuf dalam islam sangatlah berbeda dengan ajaran
agama yang lain. Sejarah telah mencatat bahwa tasawuf sudah ada sejak zaman
Rasulullah, walaupun tasawuf itu sendiri belum diberi nama tasawuf. Rasul
sangat sering melakukan uzlah untuk mencari hakihat hidup dan sering
bertahannuts di gua Hira hingga ia mendapatkan wahyu yang pertama dari Allah
Swt. begitupun di Zaman para sahabat kita dapati Umar ibn Khattab yang selalu
berpakaian sederhana dan menjauhi segala kenikmatan duniawi. dan dari tabi’i tabi’in seperti Hasan
al-Bashri, Rabitul Adawiyah, Imam Junaid, Rabiatul Adawiyah dan masih banyak
lagi tokoh-tokoh islam yang mendalami ilmu tasawuf.
Untuk sampai kepada tingkatan tertinggi dalam tasawuf; yaitu mahabah (mahabah
adalah kecintaan kepada Allah melebihi dari apapun, hingga apa yang di lihat
dan ia dengar adalah hanya Asma-Nya) seorang muslim haruslah dulu melwati muqāwamāt dan ahwāl. Adapun muqāwamāt adalah suatu posisi ruhiyyah yang dilewati
seorang hamba, dan ia bisa berlangsung lama berada dalam keadaan tersebut. Sebagian
orang ada yang berada dalam satu maqam dalam jangka yang pendek, ada
juga yang melewatinya dalam jangka yang panjang. Adapun maqam pertama
adalah taubat, di atas taubat ada wara’ dan seorang hamba harus berjuang
untuk menaiki muqāwamāt hingga ia berhasil
mencapai tingkatan tertinggi yaitu mahabah dan ridha. Seseorang tidak akan
sampai kepada tingkatan selanjutnya apabila ia belum memenuhi syarat
hukum-hukum maqam tersebut (sumber :
Diraasat fii al-ilmi at-Tashawuf, muqorror Ushuluddin tingkat 1 semester 2,
tahun 2017). kita ambil permisalan; seorang muslim yang ingin mencari tahu
hakikat cinta kepada tuhannya, langkah pertama yang harus ia lakukan adalah
taubat, dan di tingkatan pertama ini hal yang harus ia lakukan adalah beriman
kepada Allah dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Setelah terpenuhi
syarat tersebut, barulah ia bisa naik kepada maqam wara’ dan begitu
seterusnya.
Untuk mencapai hakikat cinta, memang butuh perjuangan, ia harus dicari dan
bukan diberi. Apakah ketika telah mengucapkan syahadat dan mengikrarkan bahwa
kita telah beriman lantas kita tidak akan diuji? Sesungguhnya Allah akan
mengguji setiap hambanya yang beriman dan yang mengaku cinta terhadap-Nya.
Allah Swt. Telah berfirman dalam al-Quran al-Karim :
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا
يُفْتَنُونَ
“Apakah
manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami telah beriman”,
sedang mereka tidak diujii lagi?” (Al-Ankabut [29] : 2)
Dari ayat tersebut jelas, bahwa Allah pasti akan
menguji setiap hambanya yang beriman untuk membuktikan sejauh mana kecintaannya
terhadap-Nya dan Rasul-Nya, maka setiap ia menaiki satu tingkatan, pastilah
ujiannya pun akan semakin berat sesuai dengan maqam yang sedang ia
lalui.
Adapun ahwaal adalah segala sesuatu yang dilewati oleh seorang
pencari hakikat cinta, ia berupa sifat yang berubah-ubah, seperti takut,
berharap, sedih, ketenangan, dan kerinduan atau segala ragam rasa yang
terbentuk dari pemujaan seorang pencari hakikat cinta tuhannya. Dan ia bukan
berasal dari latihan ataupun hasil ijtihad, tapi ia adalah sebuah rasa yang
bergejolak yang bisa dirasakan oleh orang itu sendiri dalam waktu tertentu. Dan
sifatnya tidak bertahan lama, seperti hulul (terwujudnya hubungan yang
seerat-eratnya antara manusia dan Allah Swt. dengan segala ketenangan hati dan rohani
yang dapat dirasakan), fana (seorang sufi yang sudah tenggelam dalam
lautan tauhid dan tenggelam dalam kecintaan kepada tuhannya hingga ia merasa
bahwa segala sesuatu yang ia lihat hanya ada wujud Allah saja)
Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthi telah menuliskan dalam kitabnya yang
berjudul ‘Al-Islam Malaadzu Al-Mujtama’at Al-Insāniyyah :
“Dari yang telah kita ketahui bersama bahwasannya esesnsi manusia adalah
gambaran dari darah dan daging, ia adalah jasad yang terdiri dari akal dan hati,
dan dengan keduanya terwujudlah seorang manusia.”
Adapun akal, ia adalah alat untuk mengetahui sesuatu secara sadar, sedangkan
hati terbagi menjadi tiga bagian pokok (dari sisi macam-macam faktor yang
merangsangnya dan pengaruhnya).
1. Hati yang termotivasi, ia adalah hati yang dipengaruhi oleh motivasi dan
cinta.
2. Hati yang terkekang, ia adalah hati yang dipengaruhi oleh ancaman dan
ketakutan.
3. Hati yang mulia yaitu hati yang dipengaruhi oleh sifat-sifat yang indah,
dan mulia.
Dan dari fakta yang ada, segala sesuatu yang berasal dari manusia dan
segala tingkah lakunya adalah dorongan dari keduanya (akal dan hati). Peranan akal
pada hakikatnya adalah untuk menerangi jalan manusia dalam menjalani
kehidupannya dan melihat sesuatu yang hak; sedangkan hati lebih cenderung
kepada menentukan tingkah laku manusia.
Adapun dalam menentukan apakah ia telah berhasil melewati satu maqam
atau tidak, dalam ilmu tasawuf ada sebuah tarekat (cara atau aturan hidup atau
jalan menuju mahabah), dan di setiap tarekat ini ada sebuah aturan-aturan
tertentu yang berbeda-beda yang dibuat oleh seorang syekh untuk mempermudah
para murid dalam melewati tingkatan maqam tersebut. Dan di dalam ilmu
tasawuf pun dibahas apa saja syarat-syarat untuk menjadi seorang syekh dan
syarat seorang murid.
Jadi, jika ingin bertasawuf alangkah baiknya bagi seorang pencari hakikat
mahabah untuk mencari syekh yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
bagi seorang syekh, dan tarekat yang sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri,
karena setiap tarekat memiliki tingkatan maqam yang berbeda-beda. Akan
tetapi semua tarekat sama; urutan maqam yang pertama adalah taubat. Hendaknya
juga untuk mengikuti syarat-syarat untuk menjadi seorang murid agar sampai
kepada derajat mahabah, dan tidak melenceng kepada aliran-aliran yang
menyesatkan.
Kemenangan dalam Ranah Wanita
Oleh : Cici Purwati
If you educate a woman, you educate a family. If you
educate a girl, you educate the future.”
_Queen Rania of Jordan_
Sejarah mencatat
bahwa perkembangan suatu negara
sangat bergantung pada seberapa besar
kontribusi wanita dalam bangsa
tersebut. Faktanya, wanita memiliki andil yang
begitu besar. Wanitalah yang menjadi
madrasah pertama dan aktor utama dalam membentuk
suatu bangsa—bahkan negara, lewat
pola pikir yang ia tanamkan pada generasi muda
dalam keluarganya. Oleh karena
itu, bagaimana suatu negara dapat
maju apabila wanitanya, sebagai madrasah
pertama, tidak memikirkan pendidikan
keluarganya. Seperti halnya, mereka yang
hanya fokus terhadap urusan yang bersifat
sekunder. Tidakkah sadar bahwa wanita sudah
dimuliakan sedemikian rupa dalam islam maupun di mata dunia?!
Tidak sedikit wanita yang
masih berpikiran bahwa ia adalah makhluk lemah yang hanya berurusan dengan alat-alat
rumah tangga, hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki hak
lebih sehingga kepercayaan dirinya tidak tampak dan meredup. Padahal di era
ketika wanita
dimarginalkan perannya, nama RA. Kartini telah
muncul sebagai wanita yang lewat sosoknya
mempelopori kebebasan wanita dalam hal
pendidikan dan beraspirasi.
Meski Kartini telah sukses mengangkat peran
wanita di masyarakat, mereka tetap dituntut untuk memperhatikan kodratnya
sebagai wanita. Mereka hendaknya memperhatikan jenis pekerjaan apa yang cocok
dan kurang cocok baginya, seperti kuli bangunan, pengangkut barang, sopir
angkutan umum dan lain sebagainya yang membutuhkan tenaga fsik yang lebih.
Karena faktanya, jika dilihat dari sisi tenaga dan fisik, laki-laki jauh lebih
kuat darinya.
Penghargaan atas perjuangan wanita
Dunia telah memuliakan
wanita dengan menjadikan tanggal 8 Maret sebagai ‘Hari Perempuan Internasional’.
Dikutip dari situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis
(8/3/2018), peringatan soal Hari Perempuan Nasional pertama kali dilakukan pada
28 Februari 1909 di New York, Amerika Serikat. Agenda ini diinisiasi oleh
Partai Sosialis Amerika Serikat untuk memperingati setahun berlalunya
demonstrasi kaum perempuan setahun sebelumnya. Gerakan
tuntutan hak oleh kaum perempuan pada 1908 ini dilatarbelakangi oleh para
pekerja pabrik garmen. Mereka menuntut hak berpendapat dan berpolitik.
Pada tahun 1910, organisasi sosialis internasional berkumpul di Kopenhagen untuk menetapkan Hari Perempuan. Usul ini disepakati oleh 100 perempuan dari 17 negara. Namun belum ditetapkan soal tanggal berapa hari tersebut diperingati.
Bergulir ke tahun berikutnya, Hari Perempuan Internasional ditandai pada 19 Maret dan diperingati di Austria, Jerman, Swis, dan Denmark. Lebih dari 1 juta perempuan dan laki-laki ikut terlibat. Pada kurun waktu 1913-1914, Hari Perempuan Internasional dipakai sebagai gerakan penolakan Perang Dunia I. Di sejumlah negara Eropa, Hari Perempuan Internasional dipakai untuk memprotes perang dunia atau sebagai aksi solidaritas sesama wanita.
Pada tahun 1910, organisasi sosialis internasional berkumpul di Kopenhagen untuk menetapkan Hari Perempuan. Usul ini disepakati oleh 100 perempuan dari 17 negara. Namun belum ditetapkan soal tanggal berapa hari tersebut diperingati.
Bergulir ke tahun berikutnya, Hari Perempuan Internasional ditandai pada 19 Maret dan diperingati di Austria, Jerman, Swis, dan Denmark. Lebih dari 1 juta perempuan dan laki-laki ikut terlibat. Pada kurun waktu 1913-1914, Hari Perempuan Internasional dipakai sebagai gerakan penolakan Perang Dunia I. Di sejumlah negara Eropa, Hari Perempuan Internasional dipakai untuk memprotes perang dunia atau sebagai aksi solidaritas sesama wanita.
Pada tahun 1917, para perempuan
Rusia memprotes perang dengan gerakan bertajuk 'Roti dan Perdamaian' pada hari
Minggu terakhir di bulan Februari. Hari tersebut bertepatan dengan tanggal 8
Maret di kalender Masehi. 4 hari kemudian, Tsar Rusia memberikan hak untuk
memilih untuk
para perempuan. Hingga akhirnya pada tahun 1975, untuk pertama kalinya PBB
memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Sejak saat itulah pada
tanggal ini diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peran kita sebagai wanita adalah menggunakan
hak sura kita sebijak mungkin dan seadil mungkin.
Peran Wanita dalam Pandangan Islam
Islam
tidak pernah melarang wanita untuk ikut serta
dalam membela islam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam
tidak pernah mengekang wanita hingga
sekejam itu. Wanita bebas mengekspresikan peran dan kiprahnya—tentunya yang sesuai norma dan Syara'. Karena
pada prinsipnya, segala perintah dan larangan
Allah (taklif) ditunjukkan kepada laki-laki dan
perempuan. Taklif ini bersifat umum dan mutlak,
sampai ada nash
khusus lainnya yang
mengecualikannya secara jelas. Seperti perintah bagi
perempuan dan laki-laki dalam mengemban
tanggung jawab yang sangat besar dalam kehidupan
Islam, yaitu amanah amr ma'ruf nahi munkar :
وَٱلْمُؤْمِنُونَ
وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ
وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ
إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (التوبة : 71)
“Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya” (QS ; al-Taubah : 71)
Dari ayat
tersebut telah jelas bahwa peranan wanita
dan laki-laki dalam mengemban dakwah adalah
sama. Aplikasi dari ayat ini sebagaimana
tercatat dalam sejarah, kejayaan islam tidak
terlepas dari peranan seorang wanita di dadalamnya.
Islam telah mengabadikan nama-nama
wanita hebat nan tangguh dalam sejarah,
seperti Khadijah binti Khuwailid yang selalu
mendukung Rasul dalam berdakwah, selalu
menenangkan Rasul ketika dakwahnya tertolak dan
bahkan dihina. Walaupun tidak ikut perang fisik tapi Siti
Khodijah RA. Selalu mendukung
dengan kasih sayang, harta dan logistiknya.
Adapun wanita yang ikut
andil dalam menegakkan kalimat tauhid seperti Asma Dzaatu An-Niqotain
RA. yang rela melepaskan tali pinggangnya untuk mengikat perbekalan rasul pada
kudanya. Nusaibah binti Ka’ab RA.yang sangat tegar ketika melihat suami dan
anak-anaknya gugur mati syahid dalam perang uhud, serta keberaniannya untuk
menegakkan islam dan kalimat tauhid yang mendorongnya untukk ikut andil dalam
perang uhud. Sekarang yang harus direnungkan adalah, peran apa yang telah kita lakukan
sebagai wanita dalam menegakkan kalimat tauhid?
Langganan:
Postingan (Atom)