Selasa, 12 Maret 2019

Senandung Rindu untuk Ayah

Bersenandung penuh irama.
Bibir mengucap tak bermakna.
Tertunduk.
Terisak.
Mata panas menahan tangis.
Tidak ada perintah dari siapa-siapa.

Apa?
Memang tidak boleh?
Kenapa?
Aku hanya ingin orang-orang melihatku bahagia.
Bukankah aku sangat munafiq tuhan?!

Sejuta kata tak bermanfaat.
Lebih baik ditelan bulat-bulat.
Daripada jarum menghujam amat lamat.
Ah! Sesak sangat!
Biarkan aku memakai topengku.
Selamanya.

Berbisik lirih dalam hati.
Menggeram sakit tak tertahan.
Tuhan, aku ingin berbicara dengan ayah.
Bolehkah tuhan?

Berpura-pura kuat selama 3 tahun lewat.
Mengenyam pahit rasa rindu.
Oh tuhan,
Pertemukan aku dengannya lewat mimpi.
Jika pun aku pulang ke negeri,
Yang ada hanya sepi yang ku jumpai.
Wujud sepi.
Di atas pusara ku menyepi.

Senin, 18 Februari 2019

Urgensi Linieritas

Tajuk Utama Majalah Manggala Edisi 7
Oleh: Cici Purwati

Pada kenyataannya, setiap manusia punya kecendrungan masing-masing pada suatu bidang tertentu, namun kerap kali ia dibenturkan oleh kenyataan dan kecemasan akan sebuah persentase kesuksesan tersebut. Untuk sebuah pencapaian yang kongkret, seperti materi dan pertimbangan tingkat kesulitannya, ia malah memilih suatu bidang yang sejalan dengan kecendrungannya dan meninggalkan sebuah tuntutan, atau sebaliknya ia memilih suatu bidang karena keterpaksaan dan suatu tuntutan dalam hidupnya.


Jika kita lihat di media sosial, banyak sekali orang-orang yang disebut ustadz bahkan ulama. Padahal ia belum menguasai penuh segala ilmu syari’at, Ushul ad-Diin, Maqâsid Syari’ah, Ilmu Ma’ani, serta bahasa yang baik secara gramatikal maupun ‘urf. Untuk menjadi ulama besar butuh waktu pendalaman dan jangka waktu yang cukup lama, tidak bisa asal bicara di depan dengan gaya ulama besar tanpa tahu dalil yang qath’iy. Bukanlah suatu aib jika memang tidak mengetahui suatu ilmu lalu kita menjawab “saya tidak tahu”, karena itu lebih baik dari pada menjawab tanpa dalil dan alih-alih menyesatkan orang yang bertanya dan bahkan rentan memecah umat dengan fatwa yang salah. Bagaimana mungkin seorang ulama yang fokus di bidang tashawuf menjawab persoalan ekonomi syari’ah? Atau bagaimana mungkin seorang dokter spesialis bedah jantung memeriksa orang yang sakit gigi?


Beberda dengan kisah Syaikh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani, seorang ulama yang latar belakang pendidikannya adalah kedokteran Bedah Umum. Ia meraih gelar Doktor dalam bidang Bedah Umum pada tahun 1991 dan menjadi anggota Persatuan Dokter Bedah Internasional pada tahun 1992. Beliau mulai memperdalam ilmu agama setelah menyelesaikan pendidikan formal hingga menjadi dokter ahli, beliau memutuskan untuk semakin mendalami agama Islam dan kembali menjadi mahasisw di Universitas al-Azhar, Fakultas Syari’ah wa al-Qanaun, jurusan Syari’ah Islamiyah pada tahun 1992, dan mendapatkan gelar License (strata sary) pada tahun 1997 dengan predikat Baik sekali. Ulama yang nasabnya berakhir di Sayyidina Hasan bin Ali ra., cucu Rasuullah Saw. Beliau berakidah Sunni Asy`ari, dan dalam fikih beliau bermadzhab Syafi’i. Tidak heran jika kemudian beliau menjadi ulama besar, karena tentunya sedari dini beliau sudah dididik tentang agama Islam secara kâfa. Di samping menjadi dokter, beliau sangat mulâzamah  dalam mengikuti berbagai macam kajian dan talaqqi  kepada ulama-ulama besar al-Azhar. Jadi, keilmuan beliau sudah tidak diragukan walaupun hanya gelar License yang ia dapat dari Fakultas Syari’ah wa al-Qanun.


Dari data 20 orang, sebagian mereka adalah Azhari dan sebagian lagi bukan Azhari (mahasiswa/i Indonesia). Ketika ditanya, haruskah ada sebuah linieritas? 40 persen menjawab tidak, dan 60 persen menjawab harus. Untuk yang menjawab tidak, salah satu dari alasan mereka adalah; untuk berkarir, seseorang tidak harus terpaku pada satu bidang saja, mereka juga butuh mencari bidang ilmu lain yang memperkuat karirnya. Jika seseorang telah meneladani satu bidang, otomatis jalan lain akan terbuka untuknya.
Beranjak dari situ, al-Azhar punya peraturan  sendiri bagi siapa-siapa yang ingin masuk strata 1 di Universitas al-Azhar, Kairo, salah satunya; harus bisa berbahasa arab. Al-Azhar sendiri tidak mempermasalahkan apakah ia dari SMA, MA, SMK ataupun pondok salafi yang ijazahnya tidak melewati prosedur negara. Yang terpenting di sini adalah; ia memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik dalam gramatikal tulisan maupun lisan, memiliki hafalan al-Qur`an minimal 2 juz dan syarat mutlak adalah, ia siap untuk mengikuti manhaj al-Azhar, sehingga dengan kata lain; asalkan ia tidak mengkhianati al-Azhar, tidak mengikuti aliran-aliran yang bertentangan dengan manhaj al-Azhar, para masyâyikh akan menerimanya untuk belajar di kiblat ilmu agama, Mesir. Sedangkan untuk siapa-siapa yang ingin melanjutkan strata 2 atau magister khususnya di Universias al-Azhar setelah kuliah di Indonesia memang agak sulit, tidak semudah mahasiswa/i yang sudah menempuh starata 1 di Universitas al-Azhar, karena jurusan mereka harus liniear dan banyak prosedur yang harus diikuti.
Sedangkan yang menjawab ‘harus linear’, kebanyakan mereka adalah orang yang kuliah di Indonesia. Sebenarnya, yang banyak menanyakan tentang linieritas adalah guru, ini diakibatkan oleh banyaknya mahasiswa magister yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun ada peraturan yang membatasinya. Aturan itu bisa tentang linieritas studi dengan profesi, izin belajar, tugas belajar dan jarak antara pekerjaan dan segala kebijakan lainnya yang bersangkutan dengan perguruan tinggi tersebut.


Zaki Mubarak, salah satu mahasiswa UGM, ia berkata, bahwasannya sejak ia studi di CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM dalam sebuah shorcourse, ia bertanya apakah penting linieritas studi dilakukan oleh pemerintah. Beberapa tutor yang ia temui hampir semuanya sama-sama menjelaskan bahwa linieritas studi itu membatasi ruang gerak pemikiran seseorang. Ilmu bersifat integratif-holistik, tidak parsial (bagian dari keseluruhan), sehingga dalam studi tidak harus dilinierkan.


Linieritas studi adalah lurusnya, samanya atau sejenisnya dalam studi disiplin ilmu seseorang di perguruan tinggi, baik itu sarjana, magister atau doktor. Kata kunci dari linieritas itu adalah bidang disiplin ilmu. Tujuan dari melinieritaskan adalah untuk mengatur keilmuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia agar lebih tertata, tidak zig-zag, tidak seorang individu berilmu A, B, C, sehingga ada kejelasan kepakaran dibidang apa yang ia geluti.


Menurut Zaky Mubarak, analogi dari linieritas ini adalah kebijakan yang  mengarahkan untuk membuat sumur bukan membuat kolam. Sumur itu lobangnya kecil, tetapi meiliki kedalaman yang lebih dibandingkan dengan kolam. Kolam luasnya lebih besar dari sumur, tapi kedalamannya lebih pangkal dari sumur.  “Pakar” adalah ahli atau orang yang mengerti tentang sebuah ilmu dan menguasainya. Pakar akan faham seluk beluk tentang keilmuannya, namun ia tidak tahu tentang yang lain atau sedikit sekali mengetahuinya. Ia sangat fokus terhadap keilmuan yang dikuasainya dan berbagi keilmuan dengan orang lain yang tidak dikuasainya. Kebalikan dari pakar, sebut saja “Pasar”. Pasar terdiri dari banyak hal, mulai dari tomat, wortel, bawang dan lainnya, seorang yang menguasai “pasar” ia akan memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai macam disiplin ilmu, namun terbatas pada pengetahuan umumnya saja. Ia banyak tahu tapi tak tahu banyak.


Jika ingin menjadi pakar, maka seseorang harus mengambil prodi yang linier, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Dengan S2 linier, seseorang bisa fokus pada 1 bidang dan mengexplore lebih jauh mengenai ilmu yang ditempuhnya selama kuliah S1. Dan ketika ada satu pihak yang membutuhkan tenaga di bidang tersebut, ia tidak akan sulit untuk masuk pada dunia tersebut. sedangkan Non linier, pilihan ini bisa menjadi pilihan ketika melihat faktor kebutuhan kerja. Jika saat ini seseorang bekerja pada bidang yang bukan basicnya pada studi S1, ia bisa mengambil posisi ini. Tentu dari keduanya pasti akan ada untung dan ruginya.

Kamis, 07 Februari 2019

Melihat Kegagalan dari Sudut Pandang Atdik Kairo, Cecep Taufikurrohman, S.Ag., MA



Oleh : Cici Purwati

Kata siapa orang sukses tidak pernah gagal? Kata siapa orang gagal akan selamanya gagal? Ketika mendapat kegaglan, bukan berarti hidupmu kedepannya akan selalu gagal. Bukankah setiap orang memiliki jatah kegagalan masing-masing? Yang membedakan orang gagal dan orang sukses adalah seberapa besar usahanya untuk terlepas dari kegagalan. Cecep Taufikurrohman, S.Ag., MA atau yang akrab dipanggil Buya CT adalah orang yang membuktikan bahwa kegagalan bukan akhir dari kehidupan. Ia tak lantas menjadikan kegagalan sebagai sebuah keterpurukan yang mendalam. Darinya kita bisa menghayati apa arti kegagalan adalah sebuah batu loncatan untuk sukses, itulah alasan mengapa buletin Manggala berinisiatif untuk mewawancarinya. Selain karya-karyanya yang menginspirasi, kiprahnya dibidang organisasi maupun kejurnalistikan sudah tidak diragukan lagi, begitu pun dengan pengabdiannya terhadap negara Indonesia.

Atdik RI asal Garut, Jawa Barat ini adalah seorang aktivis yang memiliki moto hidup “al-hayaatu kulluhaa ibaadah” (hidup itu seluruhnya ibadah). Sudah seharusnya untuk kita agar meniatkan segala sesuatunya untuk ibadah agar semuanya bernilai ibadah, terutama untuk pekerjaan yang baik. Setelah lulus dari pesantren Al-Furqon Cibiuk, ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN-PK) Darussalam Ciamis, Jawa Barat. Kemudian melanjutkn pendidikan S1 di IAIN (saat ini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lulus dari UIN, bapak beranak empat ini mengikuti seleksi yang diselenggarakan Kemenag RI untuk melanjutkan studi program S2 di Universitas Al-Azhar jurusan Falsafah Islam, Mesir yang merupakan cita-cita impiannya semenjak kelas III MTs. Saat itulah dimulai kisahnya, untuk sampai pada posisi saat ini perjalanan Buya CT tidak melulu lancar dan mulus. Setelah lulus tes Kemenag RI, ia harus menunggu 1 tahun menuju keberangkatan, dan sesampainya di Mesir pun ia tidak langsung merasakan kuliah di Al-Azhar As-Syarief. Mantan ketua PCIM (Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) ini pernah terlantar selama satu tahun di Mesir, karena namanya belum terdaftar di Universitas Al-Azhar As-Syarief. Tidak cukup disitu perjuangannya, ketika tahun pertama program S2 Tamhidi, ternyata beliau mendapatkakn taqdir rosib (gagal). Beranjak dari situ, ketika beliau ditanya bagaimana ia mengatasi rosib, karena sebagian orang ada yang memandang rosib adalah suatu kegagalan yang nyata dan membuat orang berfikiran suntuk tahwil (pindah jurusan) atau malah ada yang menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk menjadi sukses. Ia menjawab, bahwa saat itu ia tidak kehilangan semangat, tapi justru semakin tertantang. Itu hanyalah paradigma orang-orang yang mengatakan bahwa S2 di Al-Azhar sangat menakutkan, sangat susah, dan sangat lama sehingga mereka berdalih dari Al-Azhar dan membuat mitos-mitos yang tidak masuk akal. 

“Setelah rosib, yang saya lakukan bukan putus asa, tapi kemudian saya mulai intropeksi diri. Pasti dalam diri saya ada yang salah dan ada yang kurang, karena jika saya tidak kurang pasti Al-Azhar tidak akan membuat saya rosib. Ketika saya rosib saya sadar, mungkin belajar saya belum maksimal, doa saya belum maksimal, belajarnya belum sesuai yang diinginkan Dosen, sehingga saya mencoba terus, dan terus, Alhamdulillah saya lulus tamhidi 1. Sehingga ketika lulus dan masuk tamhidi 2, dengan cara yang sama saya gunakan dan perjuangan yang sama dan lebih berat saya lulus Tamhidi 2 di daur awwal”  ujarnya.

Betul adanya bahwa persespsi orang berbeda-beda dalam menanggapi sebuah kegagalan, ada yang semakin semangat dan ada yang balas dendam untuk menjadi jauh lebih baik. Bahkan ada pula yang semakin terpuruk karena kegalagalan tersebut, menarik diri dari keramaian, atau minder.
Ketika ia ditanya, apa yang menjadi batu loncatan atau titik balik anda selain taqdir rosib itu?

“Pertama adalah ketika saya menyadari betul bahwa tujuan saya adalah untuk studi, untuk menuntut ilmu, jadi prinsip saya hanya satu ; saya berhasil atau terus berhasil, apapun caranya yang harus dilakukan. Dan adapun jika saya tidak berhasil, inilah yang memacu semangat. Jika saya gagal berarti saya tidak berbeda dengan orang lain, saya telah menghabiskan waktu, umur, materi, dan segala macam. Bertahun- tahun tinggal di mesir tapi tidak membawa hasil apapun yang maksimal untuk kepentingan masa depan. Sehingga ketika mengalami persoalan dan kendala maka sayaakan  semakin semangat. Istilahnya seperti bola atau ketapel yang ditarik kebelakang lebih jauh, semakin ditarik kebelakang, semakin cepat ia melaju jauh” ujarnya.

Untuk tahu kisah selanjutnya serta kiat-kiat belajar di Azhar, semua telah ia tuliskan di bukunya yang berjudul “Menuju Kiblat Ilmu” buku yang berisi tentang panduan-panduan untuk para pelajar yang ingin melanjutkan studi ke Mesir, sangatlah direkomendasikan untuk membaca buku tersebut. Di dalamnya juga dituliskan tentang kelemahan mahasiswa Azhar, faktor-faktor keberhasilan para Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir), faktor kegagalan, dan ada penjelasan yang sangat rinci mulai dari pegurusan nama di kuliah hingga kelulusan.

Namun perlu digaris besari, sebanyak apapun buku motivasi atausebanyak apapun orang yang menasehati, seseorang tidak akan berhasol jika ia tidak melakukan tindakan apapun. Menurut Buya Cecep, cara yang paling baik untuk bangkit bagi Masisir, adalah :
1.      Rajin bertanya kepada diri sendiri, intropeksi diri, tujuan kita kemesir untuk apa?
2.      Masa depan kita mau kita ciptakan seperti apa?
3.      Kita tidak boleh membiarkan hidup kita terbawa arus, kita harus menciptakan masa depan kita sendiri atau menciptakan takdir sendiri, karena takdir Allah tidak pernah ada yang tahu.
Adapun kiat-kiat untuk untuk menghadapi tantangan di tanah air adalah sebagai berikut :
1.      Bahasa arab harus diatas rata-rata.
2.      Menguasai bidangnya dengan baik.
3.      Harus punya nilai plus yang membuat kita berbeda dengan yang lainnya. Seperti bahasa Arab yang baik, penguasaan bidang yang baik dan pengalaman internasional yang kita dapatkan selama kita belajar di luar.

Dengan tiga bekal ini, para Masisir akan bisa survive, bahkan bukan sekedar itu, ia pun bisa mewarnai hidup lingkungannya atau menjadi tokoh di kampungnya. Ia Akan nampak, dan menjadi tokoh keilmuan karena pengalaman-pengalamannya.

Tasawuf Adalah Tangga Untuk Sampai Kepada Keimanan


Oleh : Cici Purwati

When you love you should not say, God is in my heart”, but rather, “I am in the heart of God.
—Khalil Gibran—

Menurut ensiklopedia bebas, Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi.
Adapun pengertian kalimat tasawuf, bukanlah kalimat yang diwarisi atau dinukil, ia juga bukan sebuah ilmu pengetahuan yang pasti, karena jika kita menelusuri pengertiannya dari sisi bahasa, maka kita akan dapati bahwa definisi tasawuf itu berbeda-beda, begitu juga dengan tokoh sufi yang masyhur pada zaman tersebut. Begitupun dengan sejarah munculnya ajaran tasawuf, sebagian agama lain ada yang beranggapan bahwa tasawuf bukanlah ajaran islam, karena adanya persamaan istilah-istilah tasawuf dengan ajaran agama mereka, hulul misalnya. Hulul dalam istilah tasawuf islam adalah suatu kondisi ketika terwujudnya hubungan yang seerat-eratnya antara manusia dan Allah Swt. dengan segala ketenangan rohani ketika beribadah atau berdzikir, sedangkan hulul dalam ajaran Budha dan Hindu adalah kepercayaan bahwa manusia akan berhenti lahir semula (Reinkarnasi) pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan. Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran Budha lebih dulu muncul dari pada islam, dan mereka mengkalim bahwa tasawuf adalah sebuah ajaran dari ajaran mereka.
Pada faktanya, ajaran tasawuf dalam islam sangatlah berbeda dengan ajaran agama yang lain. Sejarah telah mencatat bahwa tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah, walaupun tasawuf itu sendiri belum diberi nama tasawuf. Rasul sangat sering melakukan uzlah untuk mencari hakihat hidup dan sering bertahannuts di gua Hira hingga ia mendapatkan wahyu yang pertama dari Allah Swt. begitupun di Zaman para sahabat kita dapati Umar ibn Khattab yang selalu berpakaian sederhana dan menjauhi segala kenikmatan duniawi.  dan dari tabi’i tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Rabitul Adawiyah, Imam Junaid, Rabiatul Adawiyah dan masih banyak lagi tokoh-tokoh islam yang mendalami ilmu tasawuf.
Untuk sampai kepada tingkatan tertinggi dalam tasawuf; yaitu mahabah (mahabah adalah kecintaan kepada Allah melebihi dari apapun, hingga apa yang di lihat dan ia dengar adalah hanya Asma-Nya) seorang muslim haruslah dulu melwati muqāwamāt dan ahwāl. Adapun muqāwamāt adalah suatu posisi ruhiyyah yang dilewati seorang hamba, dan ia bisa berlangsung lama berada dalam keadaan tersebut. Sebagian orang ada yang berada dalam satu maqam dalam jangka yang pendek, ada juga yang melewatinya dalam jangka yang panjang. Adapun maqam pertama adalah taubat, di atas taubat ada wara’ dan seorang hamba harus berjuang untuk menaiki muqāwamāt hingga ia berhasil mencapai tingkatan tertinggi yaitu mahabah dan ridha. Seseorang tidak akan sampai kepada tingkatan selanjutnya apabila ia belum memenuhi syarat hukum-hukum maqam tersebut (sumber : Diraasat fii al-ilmi at-Tashawuf, muqorror Ushuluddin tingkat 1 semester 2, tahun 2017). kita ambil permisalan; seorang muslim yang ingin mencari tahu hakikat cinta kepada tuhannya, langkah pertama yang harus ia lakukan adalah taubat, dan di tingkatan pertama ini hal yang harus ia lakukan adalah beriman kepada Allah dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Setelah terpenuhi syarat tersebut, barulah ia bisa naik kepada maqam wara’ dan begitu seterusnya.
Untuk mencapai hakikat cinta, memang butuh perjuangan, ia harus dicari dan bukan diberi. Apakah ketika telah mengucapkan syahadat dan mengikrarkan bahwa kita telah beriman lantas kita tidak akan diuji? Sesungguhnya Allah akan mengguji setiap hambanya yang beriman dan yang mengaku cinta terhadap-Nya. Allah Swt. Telah berfirman dalam al-Quran al-Karim :

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
 Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diujii lagi?” (Al-Ankabut [29] : 2)
Dari ayat tersebut jelas, bahwa Allah pasti akan menguji setiap hambanya yang beriman untuk membuktikan sejauh mana kecintaannya terhadap-Nya dan Rasul-Nya, maka setiap ia menaiki satu tingkatan, pastilah ujiannya pun akan semakin berat sesuai dengan maqam yang sedang ia lalui.
Adapun ahwaal adalah segala sesuatu yang dilewati oleh seorang pencari hakikat cinta, ia berupa sifat yang berubah-ubah, seperti takut, berharap, sedih, ketenangan, dan kerinduan atau segala ragam rasa yang terbentuk dari pemujaan seorang pencari hakikat cinta tuhannya. Dan ia bukan berasal dari latihan ataupun hasil ijtihad, tapi ia adalah sebuah rasa yang bergejolak yang bisa dirasakan oleh orang itu sendiri dalam waktu tertentu. Dan sifatnya tidak bertahan lama, seperti hulul (terwujudnya hubungan yang seerat-eratnya antara manusia dan Allah Swt. dengan segala ketenangan hati dan rohani yang dapat dirasakan), fana (seorang sufi yang sudah tenggelam dalam lautan tauhid dan tenggelam dalam kecintaan kepada tuhannya hingga ia merasa bahwa segala sesuatu yang ia lihat hanya ada wujud Allah saja)
Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthi telah menuliskan dalam kitabnya yang berjudul ‘Al-Islam Malaadzu Al-Mujtama’at Al-Insāniyyah :
“Dari yang telah kita ketahui bersama bahwasannya esesnsi manusia adalah gambaran dari darah dan daging, ia adalah jasad yang terdiri dari akal dan hati, dan dengan keduanya terwujudlah seorang manusia.”
Adapun akal, ia adalah alat untuk mengetahui sesuatu secara sadar, sedangkan hati terbagi menjadi tiga bagian pokok (dari sisi macam-macam faktor yang merangsangnya dan pengaruhnya).
1. Hati yang termotivasi, ia adalah hati yang dipengaruhi oleh motivasi dan cinta.
2. Hati yang terkekang, ia adalah hati yang dipengaruhi oleh ancaman dan ketakutan.
3. Hati yang mulia yaitu hati yang dipengaruhi oleh sifat-sifat yang indah, dan mulia.
Dan dari fakta yang ada, segala sesuatu yang berasal dari manusia dan segala tingkah lakunya adalah dorongan dari keduanya (akal dan hati). Peranan akal pada hakikatnya adalah untuk menerangi jalan manusia dalam menjalani kehidupannya dan melihat sesuatu yang hak; sedangkan hati lebih cenderung kepada menentukan tingkah laku manusia.
Adapun dalam menentukan apakah ia telah berhasil melewati satu maqam atau tidak, dalam ilmu tasawuf ada sebuah tarekat (cara atau aturan hidup atau jalan menuju mahabah), dan di setiap tarekat ini ada sebuah aturan-aturan tertentu yang berbeda-beda yang dibuat oleh seorang syekh untuk mempermudah para murid dalam melewati tingkatan maqam tersebut. Dan di dalam ilmu tasawuf pun dibahas apa saja syarat-syarat untuk menjadi seorang syekh dan syarat seorang murid.
Jadi, jika ingin bertasawuf alangkah baiknya bagi seorang pencari hakikat mahabah untuk mencari syekh yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan bagi seorang syekh, dan tarekat yang sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri, karena setiap tarekat memiliki tingkatan maqam yang berbeda-beda. Akan tetapi semua tarekat sama; urutan maqam yang pertama adalah taubat. Hendaknya juga untuk mengikuti syarat-syarat untuk menjadi seorang murid agar sampai kepada derajat mahabah, dan tidak melenceng kepada aliran-aliran yang menyesatkan.


Kemenangan dalam Ranah Wanita



Oleh : Cici Purwati

If you educate a woman, you educate a family. If you educate a girl, you educate the future.”
_Queen Rania of Jordan_



Sejarah mencatat bahwa perkembangan suatu negara sangat bergantung pada seberapa besar kontribusi wanita dalam bangsa tersebut. Faktanya, wanita memiliki andil yang begitu besar. Wanitalah yang menjadi madrasah pertama dan aktor utama dalam membentuk suatu bangsa—bahkan negara, lewat pola pikir yang ia tanamkan pada generasi muda dalam keluarganya. Oleh karena itu, bagaimana suatu negara dapat maju apabila wanitanya, sebagai madrasah pertama, tidak memikirkan pendidikan keluarganya. Seperti halnya, mereka yang hanya fokus terhadap urusan yang bersifat sekunder. Tidakkah sadar bahwa wanita sudah dimuliakan sedemikian rupa dalam islam maupun di mata dunia?!

Tidak sedikit wanita yang masih berpikiran bahwa ia adalah makhluk lemah yang hanya berurusan dengan alat-alat rumah tangga, hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki hak lebih sehingga kepercayaan dirinya tidak tampak dan meredup. Padahal di era ketika wanita dimarginalkan perannya, nama RA. Kartini telah muncul sebagai wanita yang lewat sosoknya mempelopori kebebasan wanita dalam hal pendidikan dan beraspirasi.

 Meski Kartini telah sukses mengangkat peran wanita di masyarakat, mereka tetap dituntut untuk memperhatikan kodratnya sebagai wanita. Mereka hendaknya memperhatikan jenis pekerjaan apa yang cocok dan kurang cocok baginya, seperti kuli bangunan, pengangkut barang, sopir angkutan umum dan lain sebagainya yang membutuhkan tenaga fsik yang lebih. Karena faktanya, jika dilihat dari sisi tenaga dan fisik, laki-laki jauh lebih kuat darinya.

Penghargaan atas perjuangan wanita
Dunia telah memuliakan wanita dengan menjadikan tanggal 8 Maret sebagai ‘Hari Perempuan Internasional’. Dikutip dari situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (8/3/2018), peringatan soal Hari Perempuan Nasional pertama kali dilakukan pada 28 Februari 1909 di New York, Amerika Serikat. Agenda ini diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika Serikat untuk memperingati setahun berlalunya demonstrasi kaum perempuan setahun sebelumnya. Gerakan tuntutan hak oleh kaum perempuan pada 1908 ini dilatarbelakangi oleh para pekerja pabrik garmen. Mereka menuntut hak berpendapat dan berpolitik.
Pada tahun 1910, organisasi sosialis internasional berkumpul di Kopenhagen untuk menetapkan Hari Perempuan. Usul ini disepakati oleh 100 perempuan dari 17 negara. Namun belum ditetapkan soal tanggal berapa hari tersebut diperingati.
Bergulir ke tahun berikutnya, Hari Perempuan Internasional ditandai pada 19 Maret dan diperingati di Austria, Jerman, Swis, dan Denmark. Lebih dari 1 juta perempuan dan laki-laki ikut
terlibat. Pada kurun waktu 1913-1914, Hari Perempuan Internasional dipakai sebagai gerakan penolakan Perang Dunia I. Di sejumlah negara Eropa, Hari Perempuan Internasional dipakai untuk memprotes perang dunia atau sebagai aksi solidaritas sesama wanita.

Pada tahun 1917, para perempuan Rusia memprotes perang dengan gerakan bertajuk 'Roti dan Perdamaian' pada hari Minggu terakhir di bulan Februari. Hari tersebut bertepatan dengan tanggal 8 Maret di kalender Masehi. 4 hari kemudian, Tsar Rusia memberikan hak untuk memilih untuk para perempuan. Hingga akhirnya pada tahun 1975, untuk pertama kalinya PBB memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Sejak saat itulah pada tanggal ini diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peran kita sebagai wanita adalah menggunakan hak sura kita sebijak mungkin dan seadil mungkin.

Peran Wanita dalam Pandangan Islam
Islam tidak pernah melarang wanita untuk ikut serta dalam membela islam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam tidak pernah mengekang wanita hingga sekejam itu. Wanita bebas mengekspresikan peran dan kiprahnya—tentunya yang sesuai norma dan Syara'. Karena pada prinsipnya, segala perintah dan larangan Allah (taklif) ditunjukkan kepada laki-laki dan perempuan. Taklif ini bersifat umum dan mutlak, sampai ada nash khusus lainnya yang mengecualikannya secara jelas. Seperti perintah bagi perempuan dan laki-laki dalam mengemban tanggung jawab yang sangat besar dalam kehidupan Islam, yaitu amanah amr ma'ruf nahi munkar :

وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (التوبة : 71)


Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya” (QS ; al-Taubah : 71)

Dari ayat tersebut telah jelas bahwa peranan wanita dan laki-laki dalam mengemban dakwah adalah sama. Aplikasi dari ayat ini sebagaimana tercatat dalam sejarah, kejayaan islam tidak terlepas dari peranan seorang wanita di dadalamnya. Islam telah mengabadikan nama-nama wanita hebat nan tangguh dalam sejarah, seperti Khadijah binti Khuwailid yang selalu mendukung Rasul dalam berdakwah, selalu menenangkan Rasul ketika dakwahnya tertolak dan bahkan dihina. Walaupun tidak ikut perang fisik tapi Siti Khodijah RA. Selalu mendukung dengan kasih sayang, harta dan logistiknya.
 Adapun wanita yang ikut andil dalam menegakkan kalimat tauhid seperti Asma Dzaatu An-Niqotain RA. yang rela melepaskan tali pinggangnya untuk mengikat perbekalan rasul pada kudanya. Nusaibah binti Ka’ab RA.yang sangat tegar ketika melihat suami dan anak-anaknya gugur mati syahid dalam perang uhud, serta keberaniannya untuk menegakkan islam dan kalimat tauhid yang mendorongnya untukk ikut andil dalam perang uhud. Sekarang yang harus direnungkan adalah, peran apa yang telah kita lakukan sebagai wanita dalam menegakkan kalimat tauhid?
 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design