Oleh : Cici Purwati
Kata siapa orang sukses tidak pernah gagal? Kata siapa
orang gagal akan selamanya gagal? Ketika mendapat kegaglan, bukan berarti
hidupmu kedepannya akan selalu gagal. Bukankah setiap orang memiliki jatah
kegagalan masing-masing? Yang membedakan orang gagal dan orang sukses adalah
seberapa besar usahanya untuk terlepas dari kegagalan. Cecep Taufikurrohman, S.Ag.,
MA atau yang akrab dipanggil Buya CT adalah orang yang membuktikan bahwa
kegagalan bukan akhir dari kehidupan. Ia tak lantas menjadikan kegagalan
sebagai sebuah keterpurukan yang mendalam. Darinya kita bisa menghayati apa
arti kegagalan adalah sebuah batu loncatan untuk sukses, itulah alasan mengapa
buletin Manggala berinisiatif untuk mewawancarinya. Selain karya-karyanya yang
menginspirasi, kiprahnya dibidang organisasi maupun kejurnalistikan sudah tidak
diragukan lagi, begitu pun dengan pengabdiannya terhadap negara Indonesia.
Atdik RI asal Garut, Jawa Barat ini adalah seorang
aktivis yang memiliki moto hidup “al-hayaatu kulluhaa ibaadah” (hidup
itu seluruhnya ibadah). Sudah seharusnya untuk kita agar meniatkan segala
sesuatunya untuk ibadah agar semuanya bernilai ibadah, terutama untuk pekerjaan
yang baik. Setelah lulus dari pesantren Al-Furqon Cibiuk, ia melanjutkan
sekolahnya ke Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN-PK) Darussalam Ciamis,
Jawa Barat. Kemudian melanjutkn pendidikan S1 di IAIN (saat ini UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Lulus dari UIN, bapak beranak empat ini mengikuti
seleksi yang diselenggarakan Kemenag RI untuk melanjutkan studi program S2 di
Universitas Al-Azhar jurusan Falsafah Islam, Mesir yang merupakan cita-cita
impiannya semenjak kelas III MTs. Saat itulah dimulai kisahnya, untuk sampai
pada posisi saat ini perjalanan Buya CT tidak melulu lancar dan mulus. Setelah
lulus tes Kemenag RI, ia harus menunggu 1 tahun menuju keberangkatan, dan
sesampainya di Mesir pun ia tidak langsung merasakan kuliah di Al-Azhar
As-Syarief. Mantan ketua PCIM (Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah)
ini pernah terlantar selama satu tahun di Mesir, karena namanya belum terdaftar
di Universitas Al-Azhar As-Syarief. Tidak cukup disitu perjuangannya, ketika tahun
pertama program S2 Tamhidi, ternyata beliau mendapatkakn taqdir rosib
(gagal). Beranjak dari situ, ketika beliau ditanya bagaimana ia mengatasi rosib,
karena sebagian orang ada yang memandang rosib adalah suatu kegagalan yang
nyata dan membuat orang berfikiran suntuk tahwil (pindah jurusan) atau
malah ada yang menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk menjadi sukses.
Ia menjawab, bahwa saat itu ia tidak kehilangan semangat, tapi justru semakin
tertantang. Itu hanyalah paradigma orang-orang yang mengatakan bahwa S2 di
Al-Azhar sangat menakutkan, sangat susah, dan sangat lama sehingga mereka
berdalih dari Al-Azhar dan membuat mitos-mitos yang tidak masuk akal.
“Setelah rosib, yang saya lakukan bukan putus
asa, tapi kemudian saya mulai intropeksi diri. Pasti dalam diri saya ada yang
salah dan ada yang kurang, karena jika saya tidak kurang pasti Al-Azhar tidak
akan membuat saya rosib. Ketika saya rosib saya sadar, mungkin belajar saya
belum maksimal, doa saya belum maksimal, belajarnya belum sesuai yang
diinginkan Dosen, sehingga saya mencoba terus, dan terus, Alhamdulillah saya
lulus tamhidi 1. Sehingga ketika lulus dan masuk tamhidi 2, dengan cara yang
sama saya gunakan dan perjuangan yang sama dan lebih berat saya lulus Tamhidi 2
di daur awwal” ujarnya.
Betul adanya bahwa persespsi orang berbeda-beda dalam
menanggapi sebuah kegagalan, ada yang semakin semangat dan ada yang balas
dendam untuk menjadi jauh lebih baik. Bahkan ada pula yang semakin terpuruk
karena kegalagalan tersebut, menarik diri dari keramaian, atau minder.
Ketika ia ditanya, apa yang menjadi batu loncatan atau
titik balik anda selain taqdir rosib itu?
“Pertama adalah ketika saya menyadari betul
bahwa tujuan saya adalah untuk studi, untuk menuntut ilmu, jadi prinsip saya
hanya satu ; saya berhasil atau terus berhasil, apapun caranya yang harus
dilakukan. Dan adapun jika saya tidak berhasil, inilah yang memacu semangat.
Jika saya gagal berarti saya tidak berbeda dengan orang lain, saya telah
menghabiskan waktu, umur, materi, dan segala macam. Bertahun- tahun tinggal di
mesir tapi tidak membawa hasil apapun yang maksimal untuk kepentingan masa
depan. Sehingga ketika mengalami persoalan dan kendala maka sayaakan semakin semangat. Istilahnya seperti bola
atau ketapel yang ditarik kebelakang lebih jauh, semakin ditarik kebelakang,
semakin cepat ia melaju jauh” ujarnya.
Untuk tahu kisah selanjutnya serta kiat-kiat belajar di
Azhar, semua telah ia tuliskan di bukunya yang berjudul “Menuju Kiblat Ilmu”
buku yang berisi tentang panduan-panduan untuk para pelajar yang ingin
melanjutkan studi ke Mesir, sangatlah direkomendasikan untuk membaca buku
tersebut. Di dalamnya juga dituliskan tentang kelemahan mahasiswa Azhar,
faktor-faktor keberhasilan para Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir), faktor
kegagalan, dan ada penjelasan yang sangat rinci mulai dari pegurusan nama di
kuliah hingga kelulusan.
Namun perlu digaris besari, sebanyak apapun buku motivasi
atausebanyak apapun orang yang menasehati, seseorang tidak akan berhasol jika
ia tidak melakukan tindakan apapun. Menurut Buya Cecep, cara yang paling baik
untuk bangkit bagi Masisir, adalah :
1.
Rajin bertanya kepada diri sendiri, intropeksi
diri, tujuan kita kemesir untuk apa?
2.
Masa depan kita mau kita ciptakan seperti apa?
3.
Kita tidak boleh membiarkan hidup kita terbawa
arus, kita harus menciptakan masa depan kita sendiri atau menciptakan takdir
sendiri, karena takdir Allah tidak pernah ada yang tahu.
Adapun kiat-kiat untuk untuk menghadapi tantangan di
tanah air adalah sebagai berikut :
1.
Bahasa arab harus diatas rata-rata.
2.
Menguasai bidangnya dengan baik.
3.
Harus punya nilai plus yang membuat kita
berbeda dengan yang lainnya. Seperti bahasa Arab yang baik, penguasaan bidang
yang baik dan pengalaman internasional yang kita dapatkan selama kita belajar
di luar.
Dengan tiga bekal ini, para Masisir akan bisa survive,
bahkan bukan sekedar itu, ia pun bisa mewarnai hidup lingkungannya atau menjadi
tokoh di kampungnya. Ia Akan nampak, dan menjadi tokoh keilmuan karena
pengalaman-pengalamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar