Kamis, 07 Februari 2019

Melihat Kegagalan dari Sudut Pandang Atdik Kairo, Cecep Taufikurrohman, S.Ag., MA



Oleh : Cici Purwati

Kata siapa orang sukses tidak pernah gagal? Kata siapa orang gagal akan selamanya gagal? Ketika mendapat kegaglan, bukan berarti hidupmu kedepannya akan selalu gagal. Bukankah setiap orang memiliki jatah kegagalan masing-masing? Yang membedakan orang gagal dan orang sukses adalah seberapa besar usahanya untuk terlepas dari kegagalan. Cecep Taufikurrohman, S.Ag., MA atau yang akrab dipanggil Buya CT adalah orang yang membuktikan bahwa kegagalan bukan akhir dari kehidupan. Ia tak lantas menjadikan kegagalan sebagai sebuah keterpurukan yang mendalam. Darinya kita bisa menghayati apa arti kegagalan adalah sebuah batu loncatan untuk sukses, itulah alasan mengapa buletin Manggala berinisiatif untuk mewawancarinya. Selain karya-karyanya yang menginspirasi, kiprahnya dibidang organisasi maupun kejurnalistikan sudah tidak diragukan lagi, begitu pun dengan pengabdiannya terhadap negara Indonesia.

Atdik RI asal Garut, Jawa Barat ini adalah seorang aktivis yang memiliki moto hidup “al-hayaatu kulluhaa ibaadah” (hidup itu seluruhnya ibadah). Sudah seharusnya untuk kita agar meniatkan segala sesuatunya untuk ibadah agar semuanya bernilai ibadah, terutama untuk pekerjaan yang baik. Setelah lulus dari pesantren Al-Furqon Cibiuk, ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN-PK) Darussalam Ciamis, Jawa Barat. Kemudian melanjutkn pendidikan S1 di IAIN (saat ini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lulus dari UIN, bapak beranak empat ini mengikuti seleksi yang diselenggarakan Kemenag RI untuk melanjutkan studi program S2 di Universitas Al-Azhar jurusan Falsafah Islam, Mesir yang merupakan cita-cita impiannya semenjak kelas III MTs. Saat itulah dimulai kisahnya, untuk sampai pada posisi saat ini perjalanan Buya CT tidak melulu lancar dan mulus. Setelah lulus tes Kemenag RI, ia harus menunggu 1 tahun menuju keberangkatan, dan sesampainya di Mesir pun ia tidak langsung merasakan kuliah di Al-Azhar As-Syarief. Mantan ketua PCIM (Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) ini pernah terlantar selama satu tahun di Mesir, karena namanya belum terdaftar di Universitas Al-Azhar As-Syarief. Tidak cukup disitu perjuangannya, ketika tahun pertama program S2 Tamhidi, ternyata beliau mendapatkakn taqdir rosib (gagal). Beranjak dari situ, ketika beliau ditanya bagaimana ia mengatasi rosib, karena sebagian orang ada yang memandang rosib adalah suatu kegagalan yang nyata dan membuat orang berfikiran suntuk tahwil (pindah jurusan) atau malah ada yang menjadikan kegagalan sebagai batu loncatan untuk menjadi sukses. Ia menjawab, bahwa saat itu ia tidak kehilangan semangat, tapi justru semakin tertantang. Itu hanyalah paradigma orang-orang yang mengatakan bahwa S2 di Al-Azhar sangat menakutkan, sangat susah, dan sangat lama sehingga mereka berdalih dari Al-Azhar dan membuat mitos-mitos yang tidak masuk akal. 

“Setelah rosib, yang saya lakukan bukan putus asa, tapi kemudian saya mulai intropeksi diri. Pasti dalam diri saya ada yang salah dan ada yang kurang, karena jika saya tidak kurang pasti Al-Azhar tidak akan membuat saya rosib. Ketika saya rosib saya sadar, mungkin belajar saya belum maksimal, doa saya belum maksimal, belajarnya belum sesuai yang diinginkan Dosen, sehingga saya mencoba terus, dan terus, Alhamdulillah saya lulus tamhidi 1. Sehingga ketika lulus dan masuk tamhidi 2, dengan cara yang sama saya gunakan dan perjuangan yang sama dan lebih berat saya lulus Tamhidi 2 di daur awwal”  ujarnya.

Betul adanya bahwa persespsi orang berbeda-beda dalam menanggapi sebuah kegagalan, ada yang semakin semangat dan ada yang balas dendam untuk menjadi jauh lebih baik. Bahkan ada pula yang semakin terpuruk karena kegalagalan tersebut, menarik diri dari keramaian, atau minder.
Ketika ia ditanya, apa yang menjadi batu loncatan atau titik balik anda selain taqdir rosib itu?

“Pertama adalah ketika saya menyadari betul bahwa tujuan saya adalah untuk studi, untuk menuntut ilmu, jadi prinsip saya hanya satu ; saya berhasil atau terus berhasil, apapun caranya yang harus dilakukan. Dan adapun jika saya tidak berhasil, inilah yang memacu semangat. Jika saya gagal berarti saya tidak berbeda dengan orang lain, saya telah menghabiskan waktu, umur, materi, dan segala macam. Bertahun- tahun tinggal di mesir tapi tidak membawa hasil apapun yang maksimal untuk kepentingan masa depan. Sehingga ketika mengalami persoalan dan kendala maka sayaakan  semakin semangat. Istilahnya seperti bola atau ketapel yang ditarik kebelakang lebih jauh, semakin ditarik kebelakang, semakin cepat ia melaju jauh” ujarnya.

Untuk tahu kisah selanjutnya serta kiat-kiat belajar di Azhar, semua telah ia tuliskan di bukunya yang berjudul “Menuju Kiblat Ilmu” buku yang berisi tentang panduan-panduan untuk para pelajar yang ingin melanjutkan studi ke Mesir, sangatlah direkomendasikan untuk membaca buku tersebut. Di dalamnya juga dituliskan tentang kelemahan mahasiswa Azhar, faktor-faktor keberhasilan para Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir), faktor kegagalan, dan ada penjelasan yang sangat rinci mulai dari pegurusan nama di kuliah hingga kelulusan.

Namun perlu digaris besari, sebanyak apapun buku motivasi atausebanyak apapun orang yang menasehati, seseorang tidak akan berhasol jika ia tidak melakukan tindakan apapun. Menurut Buya Cecep, cara yang paling baik untuk bangkit bagi Masisir, adalah :
1.      Rajin bertanya kepada diri sendiri, intropeksi diri, tujuan kita kemesir untuk apa?
2.      Masa depan kita mau kita ciptakan seperti apa?
3.      Kita tidak boleh membiarkan hidup kita terbawa arus, kita harus menciptakan masa depan kita sendiri atau menciptakan takdir sendiri, karena takdir Allah tidak pernah ada yang tahu.
Adapun kiat-kiat untuk untuk menghadapi tantangan di tanah air adalah sebagai berikut :
1.      Bahasa arab harus diatas rata-rata.
2.      Menguasai bidangnya dengan baik.
3.      Harus punya nilai plus yang membuat kita berbeda dengan yang lainnya. Seperti bahasa Arab yang baik, penguasaan bidang yang baik dan pengalaman internasional yang kita dapatkan selama kita belajar di luar.

Dengan tiga bekal ini, para Masisir akan bisa survive, bahkan bukan sekedar itu, ia pun bisa mewarnai hidup lingkungannya atau menjadi tokoh di kampungnya. Ia Akan nampak, dan menjadi tokoh keilmuan karena pengalaman-pengalamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design