Senin, 18 Februari 2019

Urgensi Linieritas

Tajuk Utama Majalah Manggala Edisi 7
Oleh: Cici Purwati

Pada kenyataannya, setiap manusia punya kecendrungan masing-masing pada suatu bidang tertentu, namun kerap kali ia dibenturkan oleh kenyataan dan kecemasan akan sebuah persentase kesuksesan tersebut. Untuk sebuah pencapaian yang kongkret, seperti materi dan pertimbangan tingkat kesulitannya, ia malah memilih suatu bidang yang sejalan dengan kecendrungannya dan meninggalkan sebuah tuntutan, atau sebaliknya ia memilih suatu bidang karena keterpaksaan dan suatu tuntutan dalam hidupnya.


Jika kita lihat di media sosial, banyak sekali orang-orang yang disebut ustadz bahkan ulama. Padahal ia belum menguasai penuh segala ilmu syari’at, Ushul ad-Diin, Maqâsid Syari’ah, Ilmu Ma’ani, serta bahasa yang baik secara gramatikal maupun ‘urf. Untuk menjadi ulama besar butuh waktu pendalaman dan jangka waktu yang cukup lama, tidak bisa asal bicara di depan dengan gaya ulama besar tanpa tahu dalil yang qath’iy. Bukanlah suatu aib jika memang tidak mengetahui suatu ilmu lalu kita menjawab “saya tidak tahu”, karena itu lebih baik dari pada menjawab tanpa dalil dan alih-alih menyesatkan orang yang bertanya dan bahkan rentan memecah umat dengan fatwa yang salah. Bagaimana mungkin seorang ulama yang fokus di bidang tashawuf menjawab persoalan ekonomi syari’ah? Atau bagaimana mungkin seorang dokter spesialis bedah jantung memeriksa orang yang sakit gigi?


Beberda dengan kisah Syaikh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani, seorang ulama yang latar belakang pendidikannya adalah kedokteran Bedah Umum. Ia meraih gelar Doktor dalam bidang Bedah Umum pada tahun 1991 dan menjadi anggota Persatuan Dokter Bedah Internasional pada tahun 1992. Beliau mulai memperdalam ilmu agama setelah menyelesaikan pendidikan formal hingga menjadi dokter ahli, beliau memutuskan untuk semakin mendalami agama Islam dan kembali menjadi mahasisw di Universitas al-Azhar, Fakultas Syari’ah wa al-Qanaun, jurusan Syari’ah Islamiyah pada tahun 1992, dan mendapatkan gelar License (strata sary) pada tahun 1997 dengan predikat Baik sekali. Ulama yang nasabnya berakhir di Sayyidina Hasan bin Ali ra., cucu Rasuullah Saw. Beliau berakidah Sunni Asy`ari, dan dalam fikih beliau bermadzhab Syafi’i. Tidak heran jika kemudian beliau menjadi ulama besar, karena tentunya sedari dini beliau sudah dididik tentang agama Islam secara kâfa. Di samping menjadi dokter, beliau sangat mulâzamah  dalam mengikuti berbagai macam kajian dan talaqqi  kepada ulama-ulama besar al-Azhar. Jadi, keilmuan beliau sudah tidak diragukan walaupun hanya gelar License yang ia dapat dari Fakultas Syari’ah wa al-Qanun.


Dari data 20 orang, sebagian mereka adalah Azhari dan sebagian lagi bukan Azhari (mahasiswa/i Indonesia). Ketika ditanya, haruskah ada sebuah linieritas? 40 persen menjawab tidak, dan 60 persen menjawab harus. Untuk yang menjawab tidak, salah satu dari alasan mereka adalah; untuk berkarir, seseorang tidak harus terpaku pada satu bidang saja, mereka juga butuh mencari bidang ilmu lain yang memperkuat karirnya. Jika seseorang telah meneladani satu bidang, otomatis jalan lain akan terbuka untuknya.
Beranjak dari situ, al-Azhar punya peraturan  sendiri bagi siapa-siapa yang ingin masuk strata 1 di Universitas al-Azhar, Kairo, salah satunya; harus bisa berbahasa arab. Al-Azhar sendiri tidak mempermasalahkan apakah ia dari SMA, MA, SMK ataupun pondok salafi yang ijazahnya tidak melewati prosedur negara. Yang terpenting di sini adalah; ia memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik dalam gramatikal tulisan maupun lisan, memiliki hafalan al-Qur`an minimal 2 juz dan syarat mutlak adalah, ia siap untuk mengikuti manhaj al-Azhar, sehingga dengan kata lain; asalkan ia tidak mengkhianati al-Azhar, tidak mengikuti aliran-aliran yang bertentangan dengan manhaj al-Azhar, para masyâyikh akan menerimanya untuk belajar di kiblat ilmu agama, Mesir. Sedangkan untuk siapa-siapa yang ingin melanjutkan strata 2 atau magister khususnya di Universias al-Azhar setelah kuliah di Indonesia memang agak sulit, tidak semudah mahasiswa/i yang sudah menempuh starata 1 di Universitas al-Azhar, karena jurusan mereka harus liniear dan banyak prosedur yang harus diikuti.
Sedangkan yang menjawab ‘harus linear’, kebanyakan mereka adalah orang yang kuliah di Indonesia. Sebenarnya, yang banyak menanyakan tentang linieritas adalah guru, ini diakibatkan oleh banyaknya mahasiswa magister yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun ada peraturan yang membatasinya. Aturan itu bisa tentang linieritas studi dengan profesi, izin belajar, tugas belajar dan jarak antara pekerjaan dan segala kebijakan lainnya yang bersangkutan dengan perguruan tinggi tersebut.


Zaki Mubarak, salah satu mahasiswa UGM, ia berkata, bahwasannya sejak ia studi di CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM dalam sebuah shorcourse, ia bertanya apakah penting linieritas studi dilakukan oleh pemerintah. Beberapa tutor yang ia temui hampir semuanya sama-sama menjelaskan bahwa linieritas studi itu membatasi ruang gerak pemikiran seseorang. Ilmu bersifat integratif-holistik, tidak parsial (bagian dari keseluruhan), sehingga dalam studi tidak harus dilinierkan.


Linieritas studi adalah lurusnya, samanya atau sejenisnya dalam studi disiplin ilmu seseorang di perguruan tinggi, baik itu sarjana, magister atau doktor. Kata kunci dari linieritas itu adalah bidang disiplin ilmu. Tujuan dari melinieritaskan adalah untuk mengatur keilmuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia agar lebih tertata, tidak zig-zag, tidak seorang individu berilmu A, B, C, sehingga ada kejelasan kepakaran dibidang apa yang ia geluti.


Menurut Zaky Mubarak, analogi dari linieritas ini adalah kebijakan yang  mengarahkan untuk membuat sumur bukan membuat kolam. Sumur itu lobangnya kecil, tetapi meiliki kedalaman yang lebih dibandingkan dengan kolam. Kolam luasnya lebih besar dari sumur, tapi kedalamannya lebih pangkal dari sumur.  “Pakar” adalah ahli atau orang yang mengerti tentang sebuah ilmu dan menguasainya. Pakar akan faham seluk beluk tentang keilmuannya, namun ia tidak tahu tentang yang lain atau sedikit sekali mengetahuinya. Ia sangat fokus terhadap keilmuan yang dikuasainya dan berbagi keilmuan dengan orang lain yang tidak dikuasainya. Kebalikan dari pakar, sebut saja “Pasar”. Pasar terdiri dari banyak hal, mulai dari tomat, wortel, bawang dan lainnya, seorang yang menguasai “pasar” ia akan memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai macam disiplin ilmu, namun terbatas pada pengetahuan umumnya saja. Ia banyak tahu tapi tak tahu banyak.


Jika ingin menjadi pakar, maka seseorang harus mengambil prodi yang linier, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Dengan S2 linier, seseorang bisa fokus pada 1 bidang dan mengexplore lebih jauh mengenai ilmu yang ditempuhnya selama kuliah S1. Dan ketika ada satu pihak yang membutuhkan tenaga di bidang tersebut, ia tidak akan sulit untuk masuk pada dunia tersebut. sedangkan Non linier, pilihan ini bisa menjadi pilihan ketika melihat faktor kebutuhan kerja. Jika saat ini seseorang bekerja pada bidang yang bukan basicnya pada studi S1, ia bisa mengambil posisi ini. Tentu dari keduanya pasti akan ada untung dan ruginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design